OPINI KADER HMI HUKUM BRAWIJAYA
“Dilema Kenaikan PPN 12%: Antara Kebutuhan Fiskal dan Dampak Sosial-Ekonomi”
Disusun oleh:
Dinda Rahmalia (2022), Akmal Kavin (2024), Andi Imam (2024)
Pendahuluan
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi topik pembicaraan yang menuai kritik tajam dari berbagai kalangan masyarakat. Pemerintah Indonesia merencanakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) per 1 Januari 2025 mendatang dari awalnya 11% menjadi 12%. Kenaikan tarif PPN ini dipastikan akan memicu kenaikan harga barang pokok, dan jasa yang berisiko memperburuk nilai inflasi di Indonesia. Hal ini tentu akan langsung dirasakan oleh kelompok masyarakat menengah kebawah. Menurut data laporan dari Center of Economics and Law Studies (Celios), peningkatan tarif PPN ini berpotensi menurunkan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.[1] Selain dari itu, kenaikan PPN sebelumnya pada tahun 2022 memberikan dampak negatif bagi masyarakat menengah kebawah akibat kenaikan harga barang pokok, dan jasa yang membebani masyarakat berpenghasilan rendah. Tentunya dampak negatif dari kebijakan kenaikan tarif PPN ini sangat berdampak negatif bagi kelompok masyarakat menengah kebawah, dan sektor industri rumahan, serta UMKM masyarakat akibat dari naiknya harga barang pokok, dan jasa.
Peraturan yang mengatur terkait Pajak Pertambahan Nilai terdapat dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 2021 yang mengatur secara rinci mengenai penetapan tarif PPN. Khususnya pada Bab IV Pasal 7 dengan rincian sebagai berikut; (1) Tarif PPN pada tanggal 1 April 2022 sebesar 11%, dan per tanggal 1 Januari 2025 mendatang diberlakukannya tarif PPN sebesar 12%, (2) Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas ekspor barang kena pajak berwujud, barang kena pajak tidak berwujud, dan jasa kena pajak, (3) Tarif PPN sebagaimana pada ayat 1 dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%, (4) Perubahan tarif PPN sebagaimana yang diatur pada ayat 3 diatur dengan peraturan pemerintah setelah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan undangundang tersebut kenaikan PPN dilakukan secara bertahap yang awalnya 11% pada 1 april 2022 menjadi 12% per 1 Januari 2025 mendatang. Tujuan dari kenaikan pajak ini untuk memperkuat penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan negara pada utang internasional, serta mendorong pembangunan nasional dan pemerataan ekonomi. Selain dari itu kebijakan ini juga sebagai solusi untuk menyeimbangkan defisit. pendapatan negara yang meningkat akibat dari COVID-19. Hal tersebut dibuktikan pada tahun 2020 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tercatat mengalami penurunan sebesar Rp 956,3 triliun, atau sekitar 6,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB).[2] Meskipun penerapan kebijakan ini bertujuan sebagai solusi meningkatkan pendapatan negara akibat pandemi COVID-19, namun penerapan kebijakan ini memunculkan diskursus di kalangan masyarakat, terutama terkait waktu penerapannya.
Penerapan Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan politik hukum yang dilakukan pemerintah sebagai upaya menciptakan struktur perpajakan yang lebih efisien menambah pemasukan negara, dan bertujuan untuk memperkuat stabilitas fiskal negara. Namun penerapan kebijakan ini tentunya akan berdampak terhadap perekonomian masyarakat secara luas. Kenaikan tarif PPN memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat terutama kelompok masyarakat ekonomi menengah kebawah. Dengan tarif pajak yang dinaikan tentunya akan membuat harga barang menjadi naik secara signifikan. Hal tersebut tentunya akan memberikan beban berat kepada masyarakat menengah kebawah di Indonesia dengan gaji rata-rata perbulan sekitar Rp 3.178.277.[3] Harga barang dan jasa yang meningkatkan akibat dari kenaikan PPN seolah-olah seperti sedang mencekik masyarakat secara perlahan karena beban yang harus ditanggung. Selain dari itu pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), akan merasakan dampak langsung dari kebijakan ini. UMKM sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia menghadapi tantangan yang luar biasa, mulai dari meningkatnya harga bahan pokok produksi, serta menurunnya daya beli konsumen akibat dari kenaikan tarif PPN. Situasi tersebut menciptakan pertumbuhan sektor UMKM yang terhambat dan melemah akibat dari penerapan kebijakan ini.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapat negara dalam rangka membiayai berbagai pembangunan di Indonesia seperti contoh Ibu Kota Negara (IKN), dan melakukan pemerataan pembangunan di seluruh daerah di Indonesia, serta mengurangi ketergantungan negara terhadap utang luar negeri. Dari sudut pandang pemerintah kenaikan tarif PPN merupakan langkah strategis yang dapat diambil untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap utang luar negeri, mengingat utang luar negeri Indonesia yang terus membesar setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Bank Indonesia utang luar negeri Indonesia pada oktober 2024 mencapai US$427,8 miliar, mengalami kenaikan sebesar US$2,7 miliar dari agustus kemarin sebesar US$425,1 miliar.[4] Namun apakah dengan penerapan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini menjadi langkah yang efektif dalam meningkatkan pendapatan negara. Hal tersebut mengingat dalam beberapa dekade terakhir ini pendapatan negara yang ditujukan untuk pembangunan negara dikorupsi oleh anggota pemerintahan. Oleh karena itu terjadi ketidaksesuaian antara kenaikan PPN ini yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan negara dengan utang luar negeri, namun masyarakat khawatir dengan anggota pemerintahan yang mengkorupsi dana pembangunan dan merugikan masyarakat secara luas.
Selain dari kekhawatiran masyarakat terhadap anggota pemerintahan yang akan melakukan tindak korupsi dana pembangunan. Waktu penerapan kebijakan ini dinilai tidak tepat karena berbarengan dengan rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang maksimal dinaikan pada tanggal 1 Juli 2025 mendatang.[5] Kenaikan BPJS Kesehatan tersebut berdasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan.[6] Serta pemberlakuan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kepada para pegawai mulai tahun 2025 mendatang.7 Semua Kebijakan tersebut semakin membebani kelompok menengah kebawah yang telah menghadapi kesulitan ekonomi akibat dari COVID-19. Selain dari itu penerapan kebijakan ini juga mengkhawatirkan bagi masyarakat karena berisiko meningkatkan angka kemiskinan, dan menghambat pemulihan ekonomi nasional. Tekanan ekonomi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dikhawatirkan akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, bahkan skenario terburuknya akan terjadi demonstrasi meminta untuk diturunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini.
Pembahasan
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025 memunculkan berbagai pandangan terkait keadilan sosial dan ekonomi. Kebijakan ini diusulkan pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi defisit anggaran, namun dampaknya terhadap masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah, menjadi sorotan utama.
Rincian Kenaikan Tarif PPN
- Tarif PPN Baru: Kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan diterapkan pada barang dan jasa tertentu, terutama yang tergolong mewah atau premium. Namun, kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, dan gula konsumsi akan tetap bebas dari PPN.
- Barang dan Jasa yang Terkena PPN: Beberapa contoh barang dan jasa yang akan dikenakan tarif PPN 12% mencakup:
- Makanan premium (misalnya beras premium, daging wagyu)
- Jasa pendidikan di sekolah internasional
- Layanan kesehatan di rumah sakit kelas atas
- Listrik untuk pelanggan dengan daya 3.500–6.600 VA
Kenaikan PPN 12%, ditinjau dari perspektif Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi Perspektif Keadilan Sosial
Dari sudut pandang keadilan sosial, kenaikan PPN dapat dianggap regresif. Pajak ini dikenakan secara merata pada semua lapisan masyarakat tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi individu. Kelompok berpendapatan rendah, yang menghabiskan proporsi besar dari pendapatannya untuk konsumsi, akan merasakan dampak yang lebih berat dibandingkan kelompok berpendapatan tinggi. Sebagai contoh, keluarga miskin diperkirakan akan mengalami peningkatan pengeluaran hingga Rp 101.880 per bulan akibat kenaikan ini.[7] Hal ini berpotensi memperburuk ketimpangan sosial, karena kelompok yang lebih kaya tidak terlalu terpengaruh oleh kenaikan harga barang dan jasa.
Teori keadilan John Rawls menekankan bahwa kebijakan publik harus memberikan manfaat terbesar bagi yang paling tidak diuntungkan. Dalam konteks ini, kenaikan PPN tampaknya tidak sejalan dengan prinsip tersebut, karena justru membebani kelompok masyarakat menengah ke bawah. Meskipun pemerintah mencoba untuk memberikan pengecualian pada beberapa barang kebutuhan pokok, dampak umum dari kenaikan tarif ini tetap akan dirasakan oleh banyak orang, terutama dalam hal inflasi dan daya beli.[8]
Perspektif Keadilan Ekonomi
Dari perspektif keadilan ekonomi, kebijakan ini dapat dilihat sebagai langkah yang berisiko. Kenaikan PPN diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara yang diperlukan untuk pembangunan infrastruktur dan program sosial lainnya. Namun, jika daya beli masyarakat menurun akibat kenaikan harga barang, konsumsi domestik—yang menyumbang sekitar 55%-60% terhadap PDB—akan tertekan. Penurunan konsumsi ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan berpotensi menyebabkan peningkatan angka kemiskinan.
Analisis menunjukkan bahwa penurunan daya beli masyarakat dapat menggerus PDB hingga Rp 65 triliun, sekitar 267.279 orang diperkirakan akan jatuh ke dalam kemiskinan sebagai dampak langsung dari kebijakan ini.[9] Oleh karena itu, meskipun tujuan fiskal dari kenaikan PPN mungkin terdengar logis, realitas di lapangan menunjukkan bahwa dampaknya bisa sangat merugikan bagi segmen masyarakat yang paling rentan.
PPN di Negara-Negara Lain
- Rata-Rata PPN Global: Rata-rata tarif PPN di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah sekitar 15%. Ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia menaikkan tarif PPN menjadi 12%, tarif tersebut masih berada di bawah standar internasional.
- Contoh Negara Eropa:
- Jerman: Memiliki tarif PPN standar sebesar 19%, dengan tarif lebih rendah sebesar 7% untuk barang dan jasa tertentu. Kenaikan tarif pajak di Jerman sering kali disertai dengan program sosial untuk melindungi kelompok berpendapatan rendah.
- Prancis: Menerapkan tarif PPN sebesar 20% dan menghadapi tantangan seperti capital flight ketika pajak dinaikkan secara drastis. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan pajak yang signifikan dapat mendorong investor untuk menarik modal mereka.
Dampak Kenaikan PPN
Di negara-negara yang telah menerapkan kenaikan PPN, dampaknya bervariasi. Di beberapa negara, kenaikan tarif pajak berhasil meningkatkan pendapatan negara tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Namun, ada juga kasus di mana kenaikan pajak menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah.
- Bagaimana dengan kenaikan ppn di Indonesia, apakah daya beli ditahun mendatang akan menurun?
- Misalnya, di Italia, meskipun tarif PPN tinggi, pemerintah memberikan pengecualian untuk barang kebutuhan pokok guna menjaga daya beli masyarakat.
Strategi Penyesuaian
Meskipun pemerintah menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan menciptakan keseimbangan fiskal, banyak masyarakat yang menyatakan kekhawatiran terhadap dampak negatifnya terhadap ekonomi rakyat. Terdapat petisi yang ditandatangani oleh lebih dari 150.000 orang yang menolak kenaikan tarif PPN ini, menunjukkan adanya penolakan publik terhadap kebijakan tersebut.[10] Untuk meredam dampak dari kenaikan tarif PPN ini terhadap daya beli masyarakat, pemerintah juga menyiapkan paket stimulus ekonomi atau kebijakan pendukung. Paket ini mencakup bantuan beras, insentif pajak untuk kendaraan listrik, serta diskon listrik bagi rumah tangga dengan daya rendah. Banyak negara yang melakukan penyesuaian tarif PPN secara bertahap dan menyediakan dukungan bagi sektor-sektor yang paling terpengaruh. Ini termasuk pengurangan pajak untuk barang-barang dasar dan peningkatan transparansi dalam penggunaan pendapatan pajak untuk program sosial.
Stimulus ekonomi
Pemerintah Indonesia akan memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan ini, pemerintah telah merancang paket stimulus ekonomi yang komprehensif, mencakup berbagai sektor dan kelompok masyarakat. Paket stimulus ini berfokus pada enam aspek utama:
- Rumah Tangga:
- Bantuan Pangan
10 kilogram beras per bulan akan diberikan kepada 16 juta keluarga selama dua bulan (Januari dan Februari 2025) untuk membantu kelompok rentan. - Diskon Listrik
Diskon 50 persen untuk pelanggan listrik dengan daya terpasang hingga 2.200 VA selama dua bulan.
- Bantuan Pangan
- Pekerja
Insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang ditanggung pemerintah bagi pekerja dengan gaji hingga Rp 10 juta per bulan di sektor padat karya. - UMKM
Dukungan melalui insentif perpajakan dan program-program yang memfasilitasi pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah. - Industri Padat Karya
Pemberian insentif pajak dan dukungan untuk sektor-sektor yang berpotensi menciptakan lapangan kerja. - Mobil Listrik dan Hibrida
Diskon PPN dan PPnBM untuk kendaraan listrik, termasuk insentif pajak untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. - Sektor Properti
Perpanjangan insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk rumah dengan harga jual hingga Rp 5 miliar, dengan diskon pajak yang signifikan selama periode tertentu.
Stimulus ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelompok rentan yang mungkin paling terpengaruh oleh kenaikan PPN. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, paket ini dirancang untuk memberikan keseimbangan antara kebutuhan fiskal negara dan kesejahteraan masyarakat.[11] Namun, ada kekhawatiran bahwa meskipun ada stimulus, dampak dari kenaikan PPN dapat menyebabkan inflasi yang lebih tinggi dan penurunan daya beli masyarakat. Center of Economics and Law Studies (Celios) memperkirakan inflasi bisa meningkat hingga 4,11 persen akibat kebijakan ini.[12] Selain itu, analisis menunjukkan bahwa pengeluaran bulanan masyarakat miskin dapat meningkat lebih dari Rp 100.000 sebagai akibat langsung dari kenaikan tarif PPN. Kenaikan PPN menjadi 12 persen disertai dengan paket stimulus ekonomi yang dirancang untuk meredam dampak negatifnya terhadap masyarakat. Meskipun pemerintah berupaya melindungi kelompok rentan melalui berbagai insentif, tantangan tetap ada dalam menjaga daya beli masyarakat di tengah potensi inflasi dan peningkatan biaya hidup.
Kelas menengah di Indonesia, adalah sais sekaligus kuda terdepan jika negara ini diibaratkan sebagai sebuah kereta perang. Posisinya krusial, dan bila ada satu saja variabel yang lingkupnya nasional, kelas menengah menjadi pihak yang paling terdampak. Kenaikan PPN ini misalnya, dapat menjadi badai yang mengguncang situasi ekonomi middle-class hingga lower-class. Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro bahkan menyebutkan bahwa daya beli masyarakat yang sudah lemah, bisa makin terpukul jika pada Januari 2025, keputusan PPN 12% ini berhasil diketok palu. Baginya, perlu ada bantalan sosial untuk menyelamatkan 60-70% masyarakat Indonesia yang digolongkan sebagai kelas menengah. Bantalan ini dapat disalurkan sebagai kanal bantuan maupun perlindungan sosial yang diperluas, bukan hanya untuk masyarakat kelas bawah[13].
Pendapat yang disampaikan Andry juga nyatanya tidak salah. Indonesia memang mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut. Hingga per kuartal-III 2024, pertumbuhan sektor konsumsi rumah tangga NKRI hanya mampu ada di angka 4,95%, lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Ini perlu jadi koreksi, karena sektor ini mencakup 53,08% dari keseluruhan pertumbuhan ekonomi, menjadi bagian terbesar sekaligus paling dominan. Ungkapan lemahnya daya beli juga ditopang oleh pendapat Bambang Brodjonegoro, Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi, mantan Menteri Keuangan era Presiden Joko Widodo periode pertama. Bambang menyebut bahwa jika konsumsi ada di bawah batas 5%, sudah bisa dipastikan bahwa daya beli sedang anjlok. Pendapat Bambang juga ditambahkan dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencantumkan turunnya jumlah kelas menengah di Indonesia, dari 21,45% jumlah penduduk, kini hanya menjadi 17,13% alias tidak mencapai 48 juta penduduk. Meskipun kedua pendapat di atas berlawanan dengan ungkapan resmi Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut bahwa ekonomi Indonesia masih baik-baik saja jika mengacu kepada penilaian indeks kepuasan di angka 125,9 per November 2024 dan pertumbuhan indeks penjualan sebanyak 1,7%, tidak dapat dipungkiri bahwa data yang tertulis adalah realita kondisi ekonomi Indonesia. Lemah, lesu, tidak bertenaga.
Di tengah kecamuk ini, masyarakat kelas menengah dan bawah masih dibebankan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebanyak 3% dari gajinya. Sementara itu, indeks tabungan kelas menengah semakin turun dari angka 100 di bulan Mei 2023, menjadi 94 di Mei 2024. Kelas bawah? makin menakutkan untuk dilihat. Indeks tabungannya meluncur bebas dari kisaran 80 di 2023, menjadi hanya 41,3 di 2024[14]. Semua angka yang muncul, adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Mandiri Spending Index 2024. Pukulan sekeras ini jelas dapat membuat lebam seluruh badan usaha kecil dan menengah, pengusaha, dan konsumen sebagai rantai terakhir dari siklus ekonomi. Kenaikan pajak yang sifatnya berantai sungguh bukan solusi untuk menyejahterakan negara. Tahun 2025 diperkirakan menjadi badai gelap untuk perekonomian Indonesia. Dengan tren daya beli yang tidak terlihat akan sembuh cepat, segala jenis bentuk kegiatan jual-beli akan menjadi lesu. Bila situasi domestik saja tidak menguntungkan, bagaimana perspektif internasional?
Tingginya pajak, tidak transparannya birokrasi keuangan, jelas akan menghambat hadirnya investor asing dalam langkah peremajaan ekonomi nasional. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara, memprediksi bahwa economic growth dari Indonesia tidak akan melebihi 4,9%. Lebih rendah dari asumsi dasar ekonomi makro APBN 2025 yang menyebut angka 5,2%. Prediksi ini sudah termasuk 10 pungutan baru yang di dalamnya terhitung Tapera dan PPN 12%[15]. Tahun 2025 menjadi medan perang yang akan menentukan hidup dan mati dari kelas menengah dalam memperjuangkan status mereka.
Jika melihat kenaikan pajak, atau pajak tinggi, akan ada satu cara pikir fenomenal tentang kesejahteraan, jaminan sosial, dan kebahagiaan masyarakat lewat perlindungan yang hadir dari negara. Ide ini disebut welfare state atau negara kesejahteraan. Dikonsep secara teoritis oleh ekonom Inggris John Maynard Keynes, welfare state kemudian hangat dibicarakan hingga menjadi ide modern pada akhir abad ke-19 dan pertengahan abad ke20, yang disabdakan oleh 2 tokoh tersohor; Kanselir Jerman Otto Van Bismarck dan ekonom Inggris William Beveridge. Keduanya mempopulerkan ide welfare state dan menerapkannya ke dalam penyelenggaraan negara. Di Eropa, welfare state jadi pondasi, hampir satu benua telah menjamin kesejahteraan warga negara sebaik-baiknya.
Konstitusi negara Indonesia, sangat sering menghadirkan nomenklatur kesejahteraan lewat UUD NRI 1945. Indonesia memiliki 14 pasal tentang kesejahteraan dalam UUD NRI 1945, namun tidak memiliki kekuatan untuk membentuk masyarakat yang sejahtera jika dibandingkan dengan konstitusi negara lain yang bertujuan kesejahteraan, seperti Norwegia, Jepang, Amerika, dan Malaysia, yang memiliki Indeks Pembangunan Manusianya (IPM) relatif tinggi.
Norwegia, misalnya, hanya mencantumkan 3 pasal dalam konstitusinya, yaitu Pasal 110, 110a, dan Pasal 110b, namun mampu mencapai IPM yang hampir sempurna. Begitu pula dengan Jepang, yang hanya mencantumkan 1 pasal tentang kesejahteraan dalam konstitusi negara Jepang[16][17]. Cukup disayangkan bahwa konseptual dari sumber hukum tertinggi, tidak membuahkan implementasi yang diharapkan. Pemerintah seringkali mencari jalan pintas untuk menambal kas negara, namun implementasinya sangat tidak tepat. Kesejahteraan itu tidak menekan, dan yang sesuatu yang ditekan serta diberikan paksaan, tidak akan sejahtera.
Kesimpulan
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% merupakan langkah strategis pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara yang sempat mengalami menurun akibat pandemi COVID-19. Kebijakan ini menjadi langkah untuk mendukung stabilitas fiskal dan mendanai berbagai program pembangunan nasional, serta pemerataan ekonomi di seluruh daerah. Hal tersebut bertujuan agar Indonesia mengurangi ketergantungan dengan utang luar negeri, terkhususnya di tengah ancaman resesi global saat ini. Namun dalam mengimplementasikan kebijakan ini terdapat berbagai tantangan besar didalamnya, terutama dalam pengesahan kenaikan tarif PPN 12% ini.
Dalam perspektif masyarakat, kenaikan tarif PPN menjadi 12% berdampak signifikan bagi kehidupan sehari-hari. Dampak secara langsung akibat dari kenaikan tarif PPN 12% ini akan dirasakan oleh masyarakat menengah kebawah, dan pelaku Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Harga barang dan jasa yang meningkat mengakibatkan daya beli masyarakat yang menurut, dan pelaku UMKM akan mengalami kesulitan dalam mematok harga jual ditengah kenaikan harga bahan produksi. Selain dari itu kelompok masyarakat menengah kebawah dihantui akan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan, dan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebesar 2,5% dari total gaji yang mulai diwajibkan bagi pegawai di tahun 2025. Pengesahan kebijakan kenaikan tarif PPN 12% ini dinilai hanya dilakukan oleh pemerintah, tanpa melibatkan masyarakat didalamnya. Serta pemerintah tidak memperhatikan dampak sosial-ekonomi yang akan dirasakan masyarakat kedepannya.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% menimbulkan dilema antara kebutuhan fiskal negara dan keadilan sosial-ekonomi. Kebijakan ini berpotensi memperburuk ketimpangan sosial dengan membebani kelompok berpendapatan rendah secara tidak proporsional. Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan alternatif kebijakan yang lebih adil dan inklusif, seperti memberikan subsidi atau bantuan langsung tunai kepada kelompok yang paling terdampak. Dengan demikian, tujuan untuk meningkatkan penerimaan negara tidak harus mengorbankan kesejahteraan masyarakat.nKenaikan PPN Indonesia menjadi 12% mencerminkan upaya pemerintah untuk menyesuaikan dengan standar internasional dan meningkatkan pendapatan negara. Namun, pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa implementasi yang hati-hati diperlukan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini harus disertai dengan langkah-langkah mitigasi untuk memastikan bahwa kelompok berpendapatan rendah tidak terlalu terbebani oleh perubahan ini.
Kutipan
[1] Suci Amaliyah, “Laporan Celios: Kenaikan PPN 12% Berpotensi Turunkan Daya Beli Masyarakat dan Perlambat Ekonomi”,https://www.nu.or.id/nasional/laporan–celios–kenaikan–ppn–12–berpotensiturunkan–daya–beli–masyarakat–dan–perlambat–ekonomi–KjdQq?utm diakses pada tanggal 23 Desember 2024.
[2] Abdul Rohman, Fenomena Utang dalam Pandemi, https://feb.ub.ac.id/fenomena–utang–dalampandemi/, diakses pada tanggal 23 Desember 2024.
[3] Arrijal Rachman, Banyak Warga Kelas Menegah RI „Turun Kelas‟, Segini Penegeluarannya, https://www.cnbcindonesia.com/news/20240724140613–4–557249/banyak–warga–kelas–menengah–riturun–kelas–segini–pengeluarannya, diakses pada tanggal 23 Desember 2024.
[4] Annasa Rizki Kamalina, Utang Luar Negeri RI Oktober 2024 Naik jadi US$427,8 Miliar, https://finansial.bisnis.com/read/20241115/11/1816364/utang–luar–negeri–ri–oktober–2024–naik–jadius4278–miliar, diakses pada tanggal 23 Desember 2024.
[5] CNBC Indonesia, Siap-siap! Sesuai Perpres, Iuran BPJS Kesehatan Naik di 2025, https://www.cnbcindonesia.com/news/20241119080806–4–589268/siap–siap–sesuai–perpres–iuranbpjs–kesehatan–naik–di–2025, diakses pada tanggal 23 Desember 2024.
[6] Ibid. 7
Arrijal Rachman, Tertekan PPN Sampai Tapera, Dompet Warga RI Makin Tipis di 2025, https://www.cnbcindonesia.com/news/20240529062715–4–541965/tertekan–ppn–sampai–taperadompet–warga–ri–makin–tipis–di–2025, diakses pada tanggal 23 Desember 2024.
[7] Atiek Ishlahiyah Al, Terguncangnya Kelas Menengah Saat Netflix dan Berbagai Layanan Naik karena PPN 12 Persen, Kompas.id, https://www.kompas.id/artikel/ancang–ancang–kaum–menengahjakarta–hadapi–ppn–12–persen. diakses pada 27 Desember 2024.
[8] Muhammad Fajar Marta, PPN 12 Persen, Kebijakan Adil atau Tambahan Beban untuk Rakyat?, Kompas.id, https://www.kompas.id/artikel/ppn–12–persen–kebijakan–adil–atau–tambahan–beban–untukrakyat. diakses pada 27 Desember 2024.
[9] Muhammad Mulya Tarmizi, Peningkatan Tarif PPN Indonesia: Dampak Sosial Ekonomi dan Potensi yang Belum Terserap, Jurnal Ekonomi Indonesia (Indonesian Economic Journal), Vol. 12(1), 2023. DOI: https://doi.org/10.52813/jei.v12i1.169.
[10] Adinda Ade Mustami, Petisi Tolak PPN 12% Ditandatangani Lebih dari 150.000 Warganet, kontan.co.id, https://nasional.kontan.co.id/news/petisi–tolak–ppn–12–ditandatangani–lebih–dari–150000warganet. diakses pada 27 Desember 2024.
[11] Kementeruan Keuangan Republik Indonesia, Perubahan Tarif PPN 12%, Wujudkan Keadilan dan Kesejahteraan Masyarakat, kemenkeu.go.id, https://www.kemenkeu.go.id/informasipublik/publikasi/berita–utama/Tarif–PPN–12–Wujudkan–Keadilan. diakses pada 27 Desember 2024.
[12] Nadia Amila, Menelisik Dampak Kenaikan PPN 12 Persen: Ancaman bagi Masyarakat atau Solusi Ekonomi?, pajak.com, https://www.pajak.com/pajak/menelisik–dampak–kenaikan–ppn–12–persenancaman–bagi–masyarakat–atau–solusi–ekonomi/. diakses pada 27 Desember 2024.
[13] Arrijal Arrachman, Semua Menjerit, Daya Beli Warga RI Ambruk!, CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/news/20241225171108–4–598704/semua–menjerit–daya–beli–warga–riambruk? diakses pada 27 Desember 2024.
[14] Arrijal Arrachman, Tertekan PPN Sampai Tapera, Dompet Warga RI Makin Tipis di 2025, CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/news/20240529062715–4–541965/tertekan–ppn–sampaitapera–dompet–warga–ri–makin–tipis–di–2025/amp, diakses pada 27 Desember 2024.
[15] Bayu Saputra, CELIOS Prediksi Ekonomi Tumbuh 4,7-4,9 persen pada 2025, Antara News, https://m.antaranews.com/berita/4483897/celios–prediksi–ekonomi–tumbuh–47–49–persen–pada–2025, diakses pada 28 Desember 2024.
[16] Elviandri, Dimyati, Khuzdaifah, & Absori, Quo Vadis Negara Kesejahteraan: Meneguhkan Ideologi Welfare State Negara Hukum Kesejahteraan Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 31(2), 2019, hlm.
[17] . https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/view/32986/25629.