Move in Silence: Menyapu Debu Kanjuruhan di Bawah Karpet Merah

OPINI KADER HMI HUKUM BRAWIJAYA
“Move in Silence: Menyapu Debu Kanjuruhan di Bawah Karpet Merah”

Disusun Oleh:
Izzan Althaf, Zaky Ibrahim, Rafi Ali

Pendahuluan

1 Oktober 2022 merupakan hari yang kelam dalam sejarah Indonesia. Lebih dari 135 nyawa melayang di Stadion Kanjuruhan. Tragedi ini merupakan akibat dari penanganan yang tidak becus dari pihak kepolisian. Tragedi ini merupakan salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah persepakbolaan Indonesia yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Kejadian ini bermula dari pertandingan Liga 1 Indonesia antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya yang berakhir dengan kekalahan tim tuan rumah Arema FC dengan skor 2-3. Kekalahan ini menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi para pendukung Arema FC, mengingat ini merupakan kekalahan pertama mereka di kandang sendiri setelah 23 tahun tidak pernah kalah dari Persebaya.

Situasi mulai memanas ketika ribuan suporter Arema FC, yang dikenal dengan sebutan Aremania, turun ke lapangan seusai pertandingan untuk mengekspresikan kekecewaan mereka. Tindakan ini memicu respons dari aparat keamanan yang berusaha mengendalikan massa dengan menggunakan gas air mata. Penggunaan gas air mata di dalam stadion tertutup ini kemudian menjadi titik kritis yang memicu kepanikan massal di antara puluhan ribu penonton yang masih berada di dalam stadion. Kepanikan yang terjadi menyebabkan para penonton berusaha menyelamatkan diri dengan bergerak ke berbagai pintu keluar stadion. Namun, infrastruktur stadion yang tidak memadai, ditambah dengan jumlah pintu keluar yang terbatas dan sebagian terkunci, menciptakan situasi yang sangat berbahaya. Ribuan orang terperangkap dalam kondisi sesak dan tidak dapat bernapas akibat kombinasi dari gas air mata dan desakan massa yang panik.

Tragedi ini mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar, dengan 135 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. Mayoritas korban meninggal akibat sesak napas dan terinjak-injak dalam upaya menyelamatkan diri. Peristiwa ini tercatat sebagai salah satu tragedi sepak bola terburuk dalam sejarah dunia dan menjadi yang terparah di Indonesia. Kejadian ini membuka mata banyak pihak tentang buruknya manajemen keamanan dalam pertandingan sepak bola di Indonesia. Berbagai aspek mulai dari standar keamanan stadion, protokol penggunaan gas air mata, hingga prosedur penanganan kerumunan massa menjadi sorotan utama. Investigasi yang dilakukan pasca tragedi mengungkapkan berbagai kelalaian dan pelanggaran standar keamanan yang berkontribusi pada besarnya jumlah korban jiwa. Sebagian keluarga korban Tragedi Kanjuruhan menilai negara belum mampu memberikan keadilan kepada mereka. Negara lebih banyak memberikan bantuan sosial (bansos) ketimbang sungguh-sungguh memberikan keadilan kepada keluarga lewat jalur hukum.

Polisi yang seharusnya mengungkapkan dan menyelesaikan tragedi ini malah seakan-akan menutup dan tidak menuntaskan apa yang sudah menjadi kewajibannya. Alih-alih melakukan investigasi pihak polisi malah mengeluarkan buku yang digunakan sebagai alat “cuci tangan” mereka berjudul “Move In Silence”. Narasumber dalam buku tersebut tidak luput dari campur tangan polisi sebagai aktor utama dalam tragedi tersebut. Sehingga cukup disayangkan jika instansi yang seharusnya menjaga keamanan, malah mencelakai masyarakat sipil dan justru berlagak sebagai korban atas tragedi tersebut.

Pembahasan

Buku Move In Silence yang bertebalkan 480 halaman ini seolah-olah membahas bahwa pihak yang bertanggung jawab atas kejadian ini juga menjadi korban atas tragedi ini, karena jika kita lihat dari angka korban banyak nya dari pihak warga sipil yang terus berjatuhan ketika tragedi tersebut. Suara ambulance dimana-mana menandakan bahwa korban semakin banyak ketika peristiwa itu. 

Buku yang dibuat oleh Putu Kholis Aryana ini seakan-akan dibuat untuk menjadi “White Knight” bagi instansi kepolisian. Padahal ketika awal persidangan kasus ini polisi sudah jelas-jelas tidak bisa melakukan transparansi dari proses penyelidikan hingga penyidikan. Buku ini seakan mengadu domba suporter Arema karena isi buku ini terdapat bagian restitusi bagi korban yang sudah sangat jelas kontradiktif dengan fakta yang ada di lapangan.  #UsutTuntas hingga #ACAB semakin bergema hingga saat ini menandakan polisi tidak bisa menyelesaikan hal ini sehingga kepercayaan kepada instansi ini sangat menurun. Hal ini diperparah dengan adanya klaim terkait restitusi kepada korban, padahal restitusi sendiri pada kasus ini bukan sekedar bantuan sosial yang terus digembor-gembor kan oleh pihak kepolisian melainkan keadilan yang seadil-adil nya kepada pihak korban. Lantas bagaimana kita menyikapi peluncuran buku ini? Dimana instansi pendidikan sebesar Universitas Brawijaya sendiri berani untuk menjual harga dirinya, yang seharusnya sebagai instansi yang netral dan berpihak pada kepentingan mahasiswa dan rakyat.  

Selama antara tahun 2022-2024, pihak kepolisian telah banyak melakukan upaya-upaya „cuci tangan‟ dengan berlaku seperti dinas sosial dengan memberikan berbagai bantuan finansial dan akses terhadap para keluarga korban untuk memperbaiki citra baik kepolisian di masyarakat. tetapi yang harus diketahui, restitusi bukan seperti apa yang kita lihat seperti bansos, belasungkawa, dan lain sebagainya. Restitusi harus berasal dari putusan pengadilan dan apa yang dilakukan oleh kepolisian tidak menggugurkan kewajiban atas restitusi tersebut karena tidak didasarkan pada putusan pengadilan.

Restitusi dalam hukum pidana merujuk pada kewajiban terdakwa atau pelaku tindak pidana untuk memberikan ganti rugi atau pengembalian kepada korban sebagai bentuk pemulihan kerugian yang diderita akibat perbuatan pidana yang dilakukan. Tujuan dari restitusi adalah untuk memperbaiki keadaan korban dan mengembalikan mereka ke posisi semula, sebelum peristiwa kriminal terjadi.

Di Indonesia, konsep restitusi diatur dalam beberapa undang-undang, terutama:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Menyebutkan tentang pemulihan kerugian korban dalam konteks tindak pidana tertentu.
  • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban: Mengatur restitusi sebagai bagian dari hak korban yang harus dipenuhi dalam proses peradilan.
  • Peraturan Mahkamah Agung (Perma): Mengatur prosedur permohonan restitusi dalam sistem peradilan pidana.

Restitusi dapat diberikan melalui putusan pengadilan yang mewajibkan terdakwa untuk membayar sejumlah uang kepada korban sebagai pengganti kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut. Prosedur restitusi ini biasanya diajukan oleh korban, baik selama proses penyidikan maupun pada saat persidangan.

Restitusi dapat mencakup berbagai jenis kerugian, antara lain:

  • Kerugian material: Kerugian yang dapat dihitung secara ekonomi, seperti biaya perawatan medis atau kerugian properti.
  • Kerugian immaterial: Kerugian non-ekonomi yang lebih sulit diukur, seperti rasa sakit, penderitaan mental, atau kehilangan kesempatan hidup.

Manfaat restitusi antara lain sebagai berikut:

  • Bagi Korban: Restitusi memberikan kesempatan bagi korban untuk mendapatkan kembali sebagian dari kerugian yang diderita akibat tindak pidana, baik dalam bentuk materiil maupun non-materiil.
  • Bagi Sistem Hukum: Restitusi mendukung prinsip keadilan restoratif, yang berfokus pada pemulihan keadaan korban dan reintegrasi pelaku dalam masyarakat setelah menjalani hukuman.

Berikut ringkasan fakta mengenai restitusi bagi korban tragedi Kanjuruhan:

Putusan Restitusi

  • Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan restitusi sebesar Rp1,07 miliar untuk korban Kanjuruhan pada 31 Desember 2024.
  • Rincian restitusi: Rp15 juta untuk 63 korban meninggal dan Rp10 juta untuk 8 korban lukaluka.
  • Jumlah ini jauh lebih kecil dari tuntutan korban sebesar Rp17,5 miliar.

Proses Pengajuan Restitusi

  • Gugatan restitusi diajukan sejak Februari 2023 saat sidang 5 terdakwa Kanjuruhan berlangsung.
  • Permohonan kembali diajukan pada 3 Oktober 2023.
  • Pengadilan Negeri Surabaya baru merespons setahun kemudian pada 21 November 2024.
  • Sidang restitusi dimulai pada 10 Desember 2024 dan berlangsung selama 21 hari.

Pandangan Korban

  • Korban merasa kecewa dengan putusan restitusi yang dianggap tidak menghargai nyawa manusia.
  • Restitusi dianggap berbeda dengan santunan, karena merupakan pertanggungjawaban negara.
  • Dari 754 total korban, 71 korban memilih jalur hukum dan tidak menerima santunan sebelumnya.

Upaya Selanjutnya

        –    Korban berencana mengajukan banding dalam waktu 14 hari setelah putusan.

Pada tanggal 21 November 2024, sidang pertama permohonan restitusi oleh 73 korban tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya ditunda karena tiga terpidana dari kepolisian tidak hadir[1]. Polda Jawa Timur meminta penundaan dengan alasan situasi tidak kondusif menjelang pilkada, sementara dua termohon dari unsur sipil mengirimkan pengacara mereka[1]. Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, yang mewakili para korban, mengungkapkan kekecewaannya atas penundaan ini namun berharap polisi tidak akan mengabaikan panggilan pengadilan di masa depan.

Total restitusi yang diminta oleh 73 korban, termasuk keluarga korban meninggal dan korban yang mengalami luka-luka, adalah sebesar Rp 17,5 miliar, sesuai dengan perhitungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pengajuan permohonan restitusi ini dilakukan sejak 3 Oktober 2023, namun baru direspons oleh pengadilan setahun kemudian[1]. Meskipun proses ini dianggap terlalu panjang, pihak LBH Surabaya melihatnya sebagai langkah positif bagi keluarga korban dalam upaya mencari keadilan.

Tragedi Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022 setelah pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang. Insiden ini bermula ketika penonton turun ke lapangan dan aparat keamanan merespons dengan menembakkan gas air mata, yang menyebabkan kepanikan massal. Berdasarkan laporan Majalah Tempo, tragedi ini mengakibatkan 135 orang meninggal, 96 luka berat, dan 484 luka ringan.

Lima orang ditetapkan sebagai tersangka dalam tragedi ini, termasuk dua dari unsur sipil dan tiga dari kepolisian. Mereka didakwa dengan berbagai pasal terkait kelalaian yang mengakibatkan kematian dan cedera. Meskipun awalnya menerima vonis yang relatif ringan di Pengadilan Surabaya, tiga terdakwa kemudian menerima hukuman yang lebih berat melalui kasasi di Mahkamah Agung.

Tragedi Kanjuruhan menjadi sorotan nasional dan internasional, serta tercatat sebagai peristiwa sepak bola paling mematikan kedua di dunia setelah Tragedi Estadio Nacional. Kasus ini menunjukkan pentingnya keamanan dan manajemen kerumunan dalam acara olahraga besar, serta kebutuhan akan pertanggungjawaban yang tepat dari pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan acara tersebut.

Penutup

Tragedi Kanjuruhan meninggalkan luka yang mendalam bagi seluruh masyarakat Indonesia. Peristiwa kelam ini seharusnya tidak perlu terjadi jika penanganan keamanan dilakukan dengan lebih profesional dan mengutamakan keselamatan penonton. Penggunaan gas air mata di dalam stadion yang tertutup merupakan tindakan yang sangat ceroboh dan bertentangan dengan standar keamanan FIFA. Kepolisian seharusnya memiliki prosedur penanganan massa yang lebih humanis dan tidak mengorbankan nyawa warga sipil.

Pemerintah Indonesia dan pihak kepolisian harus mengambil pembelajaran serius dari tragedi ini. Diperlukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola persepakbolaan nasional, mulai dari manajemen pertandingan hingga standar keamanan stadion. Koordinasi antara penyelenggara, aparat keamanan, dan pemangku kepentingan lainnya harus diperkuat untuk mencegah terulangnya tragedi serupa. Evaluasi dan pembenahan sistem pengamanan dalam pertandingan sepak bola mutlak dilakukan, termasuk pelatihan khusus bagi personel keamanan dalam menangani situasi keramaian tanpa menimbulkan korban jiwa. Ke depan, kita berharap tragedi Kanjuruhan menjadi titik balik untuk membangun persepakbolaan Indonesia yang lebih baik dan manusiawi. Sepak bola seharusnya menjadi wadah pemersatu bangsa, bukan ajang yang menimbulkan duka dan kehilangan. Pemerintah dan seluruh pihak terkait harus berkomitmen untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan suporter dalam menikmati pertandingan sepak bola di tanah air.